Oleh: Agung Pribadi (Historivator)
Bermula dari perebutan wilayah Palestina, peperangan pasukan
Kristen-Islam berlangsung sekitar 174 tahun. Bagaimana akhlaq Islam
dari peristiwa ini?
Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami
memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan
panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya
menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala.
Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami
berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah
kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman,
tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para
pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.â€
Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh
pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah
satu serdadu Perang Salib I. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C
Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and
Praticipants (Princeton and London: 1991).
Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I (1096-1099) memang menyesakkan.
Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin
dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai
secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya
tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.
Sepak Terjang Tentara Salib
Sejak tentara Islam yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang
berhasil membebaskan Palestina dari dari kekaisaran Byzantium (Romawi
Timur) sampai abad ke-11 M, Palestina berada di bawah pemerintahan Islam
dan merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi,
Nasrani, dan Islam hidup bersama. Namun kedamaian itu seolah lenyap
ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.
Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut
Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan
Raja Byzantium, Alexius I. Raja ini kemudian minta tolong kepada Paus
Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang
mereka sebut â€Å“orang kafirâ€.
Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi
besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara
setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang
menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi
orang-orang Kristen Eropa. â€Å“Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah
suci Palestina harus direbut kembali,†kata Paus.
Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh
Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh
Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas,
dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau
berperang.
Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri
atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat
sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang
bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina.
Hadirin menjawab dengan antusias, â€Å“Deus Vult!†(Tuhan
menghendakinya! )
Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi
perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula
sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini
sebagai â€Å“Perang Demi Salib†untuk merebut tanah suci.
Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur.
Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan
Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun
mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran
Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).
Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia
(Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari
Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert
Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum
Muslimin di medan perang Antakiyah (Antiokia, Suriah) pada tanggal 3
Juni 1098.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai
orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi.
Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099.
Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan
pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka
berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini
akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari
Palestina hingga Antakiyah. .
Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi
Pada tahun 1145-1147Â berlangsung Perang Salib II. Namun pada peperangan
ini tidak terjadi pertempuran berarti karena ekspedisi perang tentara
Eropa yang dipimpin oleh Raja Louis VII dari Perancis gagal mencapai
Palestina. Mereka tertahan di Iskandariyah lalu kembali ke negara
asalnya.
Perang besar-besaran baru terjadi sekitar empat dasawarsa berikutnya
pada Perang Salib III (1187-1191). Pada masa itu, Kekhalifahan Islam
terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab
Syi̢۪ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni).
Kondisi ini membuat Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Dinasti
Fathimiyah, merasa prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk
melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.
Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil
menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai.
Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo
dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta
dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki
tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.
Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan
Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tujuannya untuk
menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji
habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan)
sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.
Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa.
Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan
Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.
Shalahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda
dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berhasil mengalahkan
Pasukan Salib di Hittin (dekat Acre, kini dikuasai Israel) pada 4 Juli
1187. Pasukan Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul
Maqdis.
Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan
Raja Guy, dibawa ke hadapan Shalahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi
hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji
kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak
melakukan kekejaman yang serupa.
Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, pada hari yang tepat sama ketika
Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra̢۪
Mi’raj (bertepatan 2 Oktober 1187), pasukan Shalahuddin memasuki
Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali oleh pasukan
Islam setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.
Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2
Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis
sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia.
Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang
dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: â€Å“Bersabarlah (hai
Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah
dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan
janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.â€
Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini
sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: â€Å“Dan perangilah mereka sehingga
tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka
berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali
terhadap orang-orang yang zhalim.†(Al-Baqarah: 193)
Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan.
Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis
tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur
terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan
keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara
lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan
para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang
di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.
Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen
kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa
digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar
tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan
bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta
bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).
Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik)
meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks–bukan
bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di
kawasan itu.
Kemenangan tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin membuat marah dunia
Kristen. Mereka kemudian mengirimkan pasukan gabungan Eropa yang
dipimpin Raja Perancis Phillip Augustus, Kaisar Jerman Frederick
Barbarossa dan Raja Inggris Richard â€Å“Si Hati Singa†(the Lion Heart).
Pada masa ini pertempuran berlangsung sengit. Pada tahun 1194, Richard
yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris,
memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di
antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil
Acre.
Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara
sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda
Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran
yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.
Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan
damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa.
Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu,
Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal
mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan
abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.
***
Perang Salib IV berlangsung tahun 1202-1204. Bukan antara Islam dan
Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen
Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).
Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen
yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk
ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.
Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI
(1228), tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog
dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin.
Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh
Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan
Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.
Dua Perang Salib VII (1248-1254) dan Perang Salib VIII (1270) dikobarkan
oleh Raja Perancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu
Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Perancis harus menyerahkan emas
yang sangat banyak untuk menebusnya.
Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang
Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk,
Bibars. Louis meninggal di medan perang.
Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan
Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel (ibukota Byzantium,
Romawi Timur) oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga
sebagai Perang Salib. Penaklukan Andalusia, kawasan Spanyol Selatan yang
diperintah dinasti Bani Ummayyah, oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella
(1492), juga dianggap Perang Salib.*